Menjadi Bagian dari Warga Dunia
October 25, 2015
Decky Tri Isdian Novianoor
1400410029
Tugas I : Menulis cerpen narasi maks
1.500 kata
Menjadi Bagian dari
Warga Dunia
Bisa keluar negeri itu
adalah impianku dari dulu.
Keluar dari bumi
Indonesia untuk bisa menjelajah dan melihat isi dunia.
The world without boundaries. Untuk bisa melihat dunia, sarana yang
kugunakan dulu adalah sebuah buku atlas pemberian ayahku. Ia menjadi sahabat
terbaikku semasa kecil. Fondasi awal untuk lebih mengenal dan menaruh
ketertarikan tersendiri mengenai dunia yang lebih luas. Aku merasa seperti
berkeliling dunia ketika aku membaca sebuah atlas.
Pukul sembilan malam
aku masih terjaga, terdengan suara petir menyambar dari balik jendela kayu
rumahku.
“Untung saja kita
sedang berada di rumah, tidak kepanasan.” Kata Ibuku.
Ku anggukan kepalaku. “Iya bu, syukur kita
punya rumah” sahutku dengan polos. Sedari kecil aku telah diajarkan untuk senantiasa bersyukur dengan apa yang dipunya, termasuk dengan impian yang terus kujaga ini. Kemudian, ku rebahkan tubuh diatas kasur. Lembar
demi lembar atlas mulai kubuka, mataku sibuk menjelajah dan memandangi tiap
lembarnya. Tak hanya sebatas melihat negara apa terletak di benua apa, aku tak
ragu untuk menelisik lebih. Aku mulai tahu dan paham dengan bendera dari tiap
negara, bentuk muka geografisnya, sampai simbol-simbol yang ada disana : Lingkaran
besar dengan bintang ditengah menunjukkan ibukota negara; titik hitam
menandakan kota; lekuk sungai dengan warna birunya; segitiga merah untuk gunung
berapi sedangkan segitiga hitam mengartikan sebaliknya. Selain itu, aku
selangkah di depan dalam memahami negara dan letak negaranya. Aku sudah tahu
dimana letak negara Estonia, apa ibukota negara Uruguay, dan lain sebagainya. Saat
itu aku sudah merasa sangat bangga bisa mengetahui isi buku atlas hampir secara
holistik saat di bangku sekolah dasar. Aku juga menaruh rasa ingin tahu yang
dalam mengenai tiap negara di dunia. Bagaimana bisa Indonesia terletak di garis
khatulistiwa? Bagaimana rasanya tinggal di negara yang bersuhu rendah? Ah, masa
kecilku memang penuh dengan rasa keingintahuan yang tinggi. Saat aku duduk di
bangku sekolah dasar, orang – orang menyebutku dengan berbagai julukan, mulai
dari si ‘banyak tanya’; si ‘cerewet’; si ‘anak emas guru’ sampai aku juga
diberikan predikat sebagai si ‘gatal tangan’ karena aku hampir selalu
mengangkat tangan seusai guru memberikan penjelasan di depan kelas.
Begitu berkesannya masa
kecilku. Namun, masih ada yang menganggu benak ini. Keinginan kuat untuk bisa
keluar negeri itu masih terkunci dalam sanubari hingga menginjak bangku SMA,
Impian itu bersambut dengan perasaan bahagia ketika mengetahui ada alumni dari sekolah
yang pernah mengikuti program pertukaran pelajar ke luar negeri.
Mendengarnya saja, bulu
romaku sudah menegang. Aku merasa ini adalah waktuku untuk bersinar. Dayung tak
bersambut, teman-teman disekitarku merasa mereka tidak akan bisa melewati
proses yang harus dilewati untuk bisa pergi ke luar negeri.
“Ah, anak daerah
seperti kita tak akan lah sanggup untuk melewati tahapan yang banyak itu” ujar Septian,
teman baikku selama SMA.
“Kita disini pasti
tidak sehebat anak – anak di pulau jawa sana. Apa yang bisa kamu persiapkan?”
sambung Della seolah meyakinkan perkataan Septian tadi.
“Kamu berani ikut
tesnya, Qon?” tanyanya lagi.
Mendengar perkataan
mereka, sontak diri ini pun turut diselubungi kabut rasa ragu yang menyelimuti
dengan pekat. apakah aku yang notabennya adalah murid yang biasa saja bisa
mendapatkan beasiswa itu dan bisa keluar negeri mewujudkan mimpi? Hari
pendaftaran pun tiba. Aku masih gamang. Namun suara hati ini menyerukan hal
sebaliknya yang memotivasiku.
Bisa menginjakkan kaki di tanah eropa,
merasakan kehangatan musim panasnya, kesejukan musim gugur, merasakan jatuhan
salju, dan kesegaran musim semi. Swiss. Negara dengan sejuta pesona untuk
dijelajahi. Pegunngan Alpen yang menjulang tinggi, meraskaan sensasi makan
cokelat langsung dari penghasil cokelat nomer satu di dunia. Keragaman budaya
dan bahasa. Ah. Aku harus berjuang,
kalau tidak dicoba tidak akan berhasil. Ku mantapkan hati ini demi mewujudkan
impian terbesar dalam hidupku. Hari itu, aku datang dengan semangat membumbung tinggi
dan pulang meninggalkan tempat seleksi dengan secercah harapan pasti. Aku terus
bersabar, menunggu nasibku digantungkan oleh hasil seleksi.
Dua minggu telah
berlalu.
“kriiinnnngggg...”
bel sekolah berbunyi dengan nyaring, pertanda kelas telah berakhir. Tiba-tiba
dari balik pintu kelas, seseorang datang menghampiriku dengan raut wajah yang
berbinar.
“Qon! Kamu harus lihat
ini!” soraknya dengan tergesa sambil menyerahkan handphone-nya kepadaku.
Sontak aku terkejut. Kudongakan
kepalaku. Jelas kurasa hembusan nafasnya yang terengah-engah. Ternyata Laudya.
Salah seorang temanku yang juga sama-sama mengikuti tes seleksi. kuraih handphone itu dari tangannya. Aku terdiam.
Tak bisa berkata. Kulihat sebuah nama..Furqon Bintang Arrazaq.
Kutemukan namaku menjadi salah satu finalis yang lolos
sebagai calon penerima beasiswa penuh ke negara penghasil cokelat, Swiss.
Jantungku berdegup kencang tak beraturan. Aku menahan nafas. “Alhamdulillah” ucapku masih dengan tidak
percaya.
Laudya
mengusik lamunanku. Kualihkan pandangan kearahnya dan menyerahkan kembali
telepon genggam miliknya. “Laudya... aku lolos..” ucapku terbata-bata
“Iya.
selamat ya Qon! Aku turut berbahagia. Tapi, Maaf kita tidak bisa berangkat
bersama. Aku nggak lolos”
Tak
tergurat rasa sedih di wajahnya. Aku merasa tidak enak hati. Teman
seperjuanganku tidak bisa melanjutkan mimpinya.
Pikiranku
pun terbayang lagi.
Aku tergolong anak yang tidak terlalu aktif di kegiatan
sekolah, sedangkan Laudya adalah seorang anggota osis sekolah dan sempat
menjadi juara kelas tetapi mengapa justru aku yang lolos? Aku tak habis pikir.
Ku sampaikan rasa penyesalanku kepadanya.
“Sudahlah,
Qon. Jalanku untuk mewujudkan mimpi masih panjang. Tetap semangat ya. Jangan
sia-siakan kesempatan ini” senyumnya membuatku merasa lebih baik.
Perjalanan pun tidak
berhenti sampai disini saja. Kami harus mengikuti seleksi nasional lagi untuk mengetahui
siapa yang memang berhak mendapatkan beasiswa ini.
Tibalah saat pengumuman.
Pesimis. Aku pasrah menerima keputusan. Nyaliku pun sempat ciut. Bisa apa aku dibandingkan
dengan mereka? Kalau misal aku tidak lolos, bukanlah menjadi masalah. Toh, pengalaman
mengikuti seleksi beasiswa tingkat internasional, Bertemu dan menjadi bagian
dari anak – anak pilihan calon penerima beasiswa dari berbagai daerah di
Indonesia, dan bisa lebih mengenal diri sendiri dengan baik selama proses
seleksi merupakan pengalaman yang sangat berharga.
Takdir pun berkata aku
bersama tiga orang teman lain dari chapter dinyatakan lolos dan menjadi calon
kandidat penerima Beasiswa penuh. Alhamdulillah..
Kemudian, kandidat
belum tentu akan berangkat sampai mereka duduk di kursi pesawat menuju negara
pilihan. Segala kemungkinan bisa saja terjadi. akupun nyaris saja tidak jadi
berangkat karena masalah visa.
Aku memang sempat
berberapa kali melakukan kesulitan dalam mengerjakan form pengajuan visa secara
online. Benar saja, namaku dan berberapa teman lainnya pun tidak ada dalam
daftar yang dipanggil untuk mengikuti tes visa.
Aku lemas, tidak tahu apa yang harus diperbuat karena sudah sampai tahap sejauh
itu. Lalu, aku pun meminta petunjuk pada yang maha kuasa, “apabila aku memang
punya jalan, lancarkanlah, kalau tidak, lapangkan lah hati ini.” ucapku lirih
disetiap doa.
Mukjizat terjadi.
Namaku akhirnya tercantum disana. Daftar wawancara tes visa. Tahap 2. Tuhan
memang selalu mendengar kita. Berberapa bulan setelah itu, aku mendapatkan kepastian mengenai keluarga angkat ku selama aku berada di
sana. Malam sebelum aku mendapat kepastian itu, aku mendapat mimpi untuk segera
membuka permintaan pertemanan di facebook,
tidak tahu mimpi itu datangnya dari mana, aku pun terbangun. Segera kuraih
telepon genggamku untuk membuka facebook. Memang benar. Aku menjumpai satu nama
yang asing, Profilnya kubuka. Ia tampak sudah berumur. 60 tahun, pikirku. Ia
berasal dari Gottlieben, Swiss. Akupun setengah tidak percaya. mungkinkah? Aku
pun menyentuh tombol ‘terima’.
Saat disekolah, handphoneku berbunyi. Sebuah pesan dari akun tersebut muncul di Facebook dan mengabarkan bahwa ia adalah
calon ibu angkatku. Aku pun bersorak kegirangan. Akhirnya aku punya sebuah
keluarga. Sebuah rumah di belahan benua lain.
Mendekati hari yang dinanti, perasaanku
bercampur aduk. Aku jadi tahu arti kesedihan saat mengucapkan selamat tinggal kepada keluarga dan
teman-teman dengan mata yang penuh dengan air mata. Berat rasanya hidup sebagai orang asing, sebagai murid pertukaran pelajar di
negeri orang. Inilah tantangannya! aku ingin membuktikkan bahwa aku bisa keluar
dari zona nyamanku, bisa lebih mandiri dan mencoba dan menemukan berbagai
hal-hal baru.
Hari yang dinanti pun tiba.
Menjadi duta
bangsa membawa nama Indonesia, budaya, menjalin hubungan yang lebih erat dan
menjembatani pemahaman dan saling pengertian antara Indonesia dan Swiss bukanlah hal yang mudah.
Adaptasi harus kulakukan terutama yang
terkait dengan masalah bahasa.
Hidup dan
tinggal dengan keluarga angkat, bersekolah dan belajar di sekolah setempat
serta berinteraksi dengan komunitas dan hidup layaknya orang Swiss membutuhkan
adaptasi dan niat teguh untuk selalu belajar.
Mendapat kesempatan merasakan secara langsung bagaimana rasanya hidup di sebuah kota bernama Gottlieben yang populasinya kurang dari 500
jiwa. Aku sampai hampir bisa mengenali seluruh penduduk kota. Selain itu, ramadan dan lebaran di negeri orang juga merupakan pengalaman luar biasa, daun berguguran di musim gugur, berkenalan dengan teman-teman dari seluruh dunia, mewujudkan mimpi ikut serta merayakan halloween, dinginnya salju sampai harus
memakai 3 lapis baju setiap harinya, menikmati cokelat hangat dikala salju
turun di hari natal sambil menunggu dengan tidak sabar untuk membuka kado
natal, menjadi bintang drama sekolah, menjelajahi
gedung-gedung beraksitektur kuno mencicipi berbagai jenis keju,berkesempatan untuk dapat menikmati bermain ski dari
pegunungan di Swiss National Park serta
mengenalkan Indonesia kepada mereka adalah pengalaman yang benar-benar luar
biasa.
Pertukaran pelajar mengajariku
banyak hal. Bagaimana rasanya jika
mimpi besar berhasil terwujud, tahu
arti sebenarya dari toleransi jika belum pernah mencoba terbiasa dengan suatu hal yang berbeda
walaupun kita tidak suka.
Apa itu patriotisme jika
belum pernah berteriak ‘Aku cinta negaraku!’ saat memegang bendera merah putih
di negeri orang?
Hidup sebagai murid pertukaran pelajar adalah
dimana hidup dan cara berpikir kita diubah untuk menjadi calon pemimpin yang peduli akan masa
depan bangsa dan dunia.
0 Comments